Merinding, itulah kata yang bisa saya capkan saat melintasi Bengawan Solo (ꦧꦺꦔꦮꦤ꧀ꦱꦭ) yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa, dengan hulu 3 gunung yakni Merapi, Lawu dan Wilis.
Di Ngraho, saya mengayuh dayung diatas paddle di aliran sungai yang tenang mengenang kisah Jaka Tingkir dalam tembang bermetrum Megatruh berjudul "Sigra milir"
“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”. Begitulah bunyi tembang macapat yang berkisah tentang Jaka Tingkir naik rakit di sebuah sungai dikawal 40 buaya putih, di depan, di belakang, di samping kanan dan samping kiri. Rakitnya pun bergerak perlahan-lahan.
Sekali lagi, bulu tangan saya berdiri. Ketika berada di air, tiba2 saja teringat tembang itu. Dan benar saja, dayung yang saya ayunkan ke belakang tiba2 membuat paddle bermerk "sawarna" itu mengarah kekiri dan akhirnya "jebyur" saya pun hanyut dalam air sekitar 5 detik
Apa yang terjadi tentu sudah bisa di tebak, saya minum air bengawan beberapa tegukan. Ajaibnya, ditengah terik sang Bagaskara, ternyata tak membuat air bengawan terasa hangat, justru sebaliknya "terasa adem".
Ya, sedingin wajah sang bengawan yang selama jutaan tahun tetap diam, kendati manusia di sekitarnya ramai mengotori, sibuk mengais rezeki , namun juga tak sedikit yang menguri uri
Tembang Sigra Mlilir terus teringat di otak saya, sementara tubuh ini masih mengapung, mencoba meraih gethek (baca paddle board), sambil berharap sang buaya putih tidak datang menghampiri.
Sebab, (konon) siapapun yang menyanyikan tembang ini, akan di datangi buaya putih. Sigra Mlilir bak mantra (sarana komunikasi lintas dimensi) untuk memanggil dan memerintah sekawanan buaya di kawasan perairan Bengawan Solo.
Beruntung, saya bisa bangkit dan meraih paddle dan kembali berdiri mengayuh di teriknya mentari di Kedung Srengenge (nama lain bengawan Solo) . Selama bermain air, saya di temani sampah, dan kebanyakan adalah sampah plastik.
Budaya membuang sampah di sungai bisa jadi telah berlangsung selama berabad-abad, terlebih ketika sungai tak lagi menjadi tempat bermain dan mengais rezeki. Apalagi di era kolonial, para penjajah itu lebih memilih membangun jalan ketimbang memanfaatkan sungai sebagai fungsi alur transportasi
Kini, sang Bengawan tak ubahnya muara dari segala peluh kehidupan masyarakat di dalamnya. Keberadaan Sungai tak lagi menjadi urat nadi kehidupan, namun berubah menjadi sarana buang sampah, dan saya yakin para leluhur (Jaka Tingkir - Sigra Mlilir, dan Hayam Wuruk - Prasasti Canggu) tentu mewariskan budaya pelestari Alam kepada kita
Akankah Modernisasi (kemajuan teknologi) justru membawa kemunduran peradaban sehingga Jaka Tingkir tak lagi mengayuh gethek di bengawan, melainkan Ngombe Dawet dan membuang plastiknya ke Sungai
Tofan Ardi
Penanggung Jawab Misi Aksi Mitigasi dan Kolaborasi
Ekspedisi Bengawan Solo 2022
COMMENTS