Setiap kita tentu memiliki properti dengan batas wilayah teritori yang jelas dan tegas. Pada sertifikat kepemilikan rumah atau tanah misalnya, ada batas jelas yang divisualisasikan oleh peta yang dilengkapi dengan koordinat. Umumnya, kita akan menjaga apapun yang berada dalam wilayah teritori kita. Mari kita bayangkan, kita memiliki sebuah rumah tau hunian. Maka yang kita lakukan adalah menjaga agar barang-barang di rumah kita tetap aman dan lingkungan hunian kita bersih.
Masalah muncul ketika kita membuang sampah. Akui saja, berapa persen dari kita yang benar-benar memastikan bahwa sampah yang kita buang telah kita ikat dengan kencang sehingga isi sampah tidak bercecer? Berapa persen pula dari kita yang memastikan bahwa wadah sampah kita tidak berlubang? Atau, banyakkah dari kita yang membuang sampah tepat pada tempatnya, tidak melempar atau menaruhnya dekat dengan bak sampah?
Ya, kita membuang sampah ke tempat sampah untuk mengamankan teritori kita dari sampah. Tapi, bagaimana dengan teritori lain yang tercemari akibat perilaku serampangan kita dalam membuang sampah? Pernahkah kita memikirkannya?
Perilaku yang diilustrasikan di atas merupakan contoh dari konsep NIMBY (Not In My Backyard). Melansir dari laman kamus Mirriam-Webster, NIMBY merupakan istilah yang dipopulerkan pada tahun 1980 yang diartikan sebagai ketidaksetujuan terhadap penempatan sesuatu yang berbahaya di lingkungan tempat tinggal mereka, tetapi menyetujui jika ditempatkan di lingkungan orang lain.
Mendukung definisi dari Mirriam Webster, Oxford juga mendefinisikan NIMBY sebagai keberatan yang diajukan oleeh seseorang sebagai akibat dari penempatan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan atau berbahaya di daerah tempat tinggalnya. Lantas, bagaimana hubungannya dengan Bengawan Solo?
Kita tahu betul bahwa Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Saking panjangnya, sungai ini melewati 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kota/kabupaten itu antara lain Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik.
Saking panjangnya Bengawan Solo, pengelolaanya juga semakin kompleks. Jika pada bagian hulu masyarakat membuang sampah dan limbah sembarangan, maka masyarakat bagian tengah dan hilir yang menerima imbasnya. Jika masyarakat bagian tengah ikut-ikutan membuang sampah dan limbah sembarangan, maka masyarakat bagian hilir yang paling kasihan.
Kompleksitas ini memunculkan tanya, “Bengawan Solo punya siapa?”. Lantas, siapa yang tertuduh dan harus bertanggung jawab penuh atas sampah dan degradasi lingkungan Bengawan Solo? Apakah masyarakat di hulu, tengah, atau hilir?
Pada Juli 2022, Tim Ekspedisi Bengawan Solo yang melakukan penelusuran sepanjang Bengawan Solo menemukan fakta-fakta yang memprihatinkan, utamanya terkait sampah. Terlepas dari letak atau bagian sungai, hampir seluruh warga dan perusahaan di sepanjang bantaran Bengawan Solo membuang sampah langsung ke badan sungai.
Tidak mengherankan jika Tim menyaksikan langsung temuan limbah popok dan limbah rumah tangga di sepanjang sungai. Selain limbah rumah tangga, limbah pabrik juga menjadi salah satu sumber pencemar di Bengawan Solo. Publikasi media masa pada tahun 2021 mengangkat kasus pencemaran limbah ciu (alcohol) yang membuat air sungai hitam, bau, dan tidak bisa digunakan sebagai sumber air PDAM.
Lalu kita sampai pada pernyataan, bahwa Bengawan Solo adalah milik semua masyarakat yang mengambil dan mendapat manfaat dari alirannyaa. Bengawan Solo bukan milik Surakarta atau Wonogiri, Bengawan Solo adalah milik 15 kota/kabupaten yang dialirinya. Maka, tidak bijak jika menyalahkan salah satu wilayah administrasi atau bagian sungai saja.
Untuk itulah, pengelolaan lingkungan Bengawan Solo juga perlu dilakukan secara terintegrasi, partisipatif, dan berkelanjutan. Ekspedisi Bengawan Solo 2022 mencoba menyatukan 11 kota/kabupaten yang dialiri Bengawan Solo untuk memetakan strategi terbaik yang dapat dilakukan secara efektif dan berkelanjutan melalui pembentukan Riverside Ecological Society. Aliansi ini bertujuan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat, akademisi, pemerintah, dunia usaha, dan media untuk bersama-sama memetakan strategi konservasi Bengawan Solo.
Pembentukan Riverside Ecological Society merupakan satu dari deretan panjang aktivitas yang kami lakukan pada Ekspedisi Bengawan Solo. Berangkat dari keprihatinan kami terhadap kondisi Bengawan Solo yang kian memprihatinkan, ekspedisi ini akan mengajak kita mengenang kejayaan Bengawan Solo melalui sisi historis, menyajikan data terkini mengenai kondisi Bengawan Solo, dan memetakan strategi konservasi Bengawan Solo yang tentunya selaras dengan poin-poin dalam Sustainable Development Goals.
Ekspedisi ini mungkin jauh dari kata sempurna karena memang tujuan ekspedisi ini adalah sebagai awalan yang diharapkan dapat menggelitik nurani seluruh lingkup masyarakat bahwa saat ini Bengawan Solo sedang ‘sekarat’. Tidak perlu saling tunjuk siapa yang paling bersalah dalam kerusakan Bengawan Solo, kita hanya perlu bergadengan tangan menuju Bengawan Solo yang pulih dan lestari untuk generasi sekarang dan generasi mendatang
Penulis adalah Program Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro
COMMENTS